Kapan kita mulai sadar jika usia kita semakin
menua? Ya, salah satunya ketika mendapat undangan pernikahan teman
sebaya. Mungkin usia kita memang masih muda, tapi tentunya itu
beriringan dengan semakin menuanya usia kita, yang pada akhirnya membuat
kita berpikir untuk menentukan akan dibawa kemana kehidupan ini. Akan
seperti apa kehidupan kita di masa yang akan datang? Dan langkah apa
yang harus kita lakukan sekarang, agar esok mendapatkan kehidupan yang
didambakan?
Usia 19-20 an memang bukan kategori tua. Tetapi
sekali lagi, itu proses menua. Usia dimana seseorang mulai dianggap
dewasa, mulai ditimpa beragam masalah yang sama sekali tak pernah
terpikirkan sebelumnya. Rangkain peristiwa-peristiwa yang tidak terduga,
yang kadang memancing emosi itu merupakan proses pendewasaan. Dimana
seseorang dituntut untuk pandai bersikap, mengambil keputusan, dan
menentukan langkah untuk kebaikan hidupnya kelak. Pada usia ini,
seseorang memiliki beragam pilihan. Ada yang tengah menempuh pendidikan
di bangku kuliah, ada yang memilih bekerja dulu, atau ada juga yang
memilih menikah—tentu karena sudah ada jodohnya—.
Nah pilihan terakhir itulah yang menarik untuk
dibahas. Pernikahan itu bisa berlangsung setelah lulus SMA, bisa juga
yang setelah lulus SMA memilih bekerja dulu sebentar—baru menikah—, atau
ada juga yang memilih menikah ketika sedang menempuh pendidikan di
bangku kuliah. Rencana Tuhan memang tidak ada yang tahu. Ketika Tuhan
mempertemukan kita dengan jodoh kita di usia yang tergolong masih sangat
muda, tidak ada yang bisa kita lakukan bukan? Selain bersyukur. Itu
juga bisa berarti bahwa Tuhan memberikan kepercayaan lebih kepada kita
di usia yang masih sangat muda untuk berumah tangga, mengabdikan diri
kepada pasangan syah.
Di tengah kesibukan saya menyelesaikan studi strata
satu dan kesibukan berorganisasi, undangan pernikahan dari teman-teman
tak jarang datang kepada saya. Entah itu dari kartu undangan yang sampai
ke rumah, dari sms berantai teman-teman, atau dari group di sosial
media. Undangan itu beragam datangnya, dari teman kecil, teman sd,
sahabat dekat, sampai yang terakhir teman sekelas saya di bangku kuliah.
Tentu tak ada reaksi lain yang bisa saya tunjukkan, kecuali mengucap
syukur karena terharu dan bahagia melihat teman—yang rasanya baru
kemarin saling bermain bersama, menggila bersama, susah senang bersama
itu—akhirnya sudah Tuhan temukan dengan jodohnya.
Di tengah rasa syukur atas pernikahan teman
tersebut, komentar miring kerap saja mampir dari sebagian orang.
Komentar itu bisa berupa reaksi kaget penuh ketidak percayaan, karena
pernikahan yang mereka anggap masih terlalu muda itu.
Pernyataan-pernyataan seperti, “Serius lo? Ya ampun gue nggak percaya
banget dia mau married semuda ini, emang dia udah siap?”, “Beneran dia
lulus SMA mau langsung married? Nggak mau kuliah dulu gitu? Atau paling
nggak, kerja dulu kek? Biar bisa bahagiain orang tua dulu”, “Ya ampun
dia kan masih kuliah, yakin kuliahnya gak keteteran? Kalo pas di tengah
jalan dia hamil kan, malah repot, apa bakal kelar kuliahnya? Belum lagi
tugas-tugas kuliah, terus skripsi juga, apa bisa fokus kuliah sambil
ngurus keluarga?”, sampai yang terakhir saya dengar, “Ya ampun itu
cowoknya gak sabaran banget sih.. paling nggak tunggu sampe lulus kuliah
lah, dasar cowok yah! Lagian kan kalo seumuran kita, kandungan sama
sistem reproduksinya masih belum siap, malah kasian kali”.
Secara pribadi saya kurang setuju dengan
pernyataan-pernyataan di atas, yang ditujukan bagi mereka yang akan
segera menikah. Mungkin masih masuk akal jika itu ditujukan kepada diri
sendiri atau bagi lingkungan yang satu visi—yang ingin fokus kuliah atau
bekerja dulu—, tentu sebagai bentuk proteksi diri agar tidak terlalu
mempermasalahkan persoalan percintaan yang ‘katanya’ rumit itu. Namun
ini pun tidak boleh menyudutkan atau bahkan menjadikan kita antipati
terhadap mereka yang memilih menikah muda. Raut wajah gembiralah, yang
tetap lebih pantas kita perlihatkan ketika teman mengabarkan berita
pernikahannya itu.
sumber:http://muda.kompasiana.com
0 komentar:
Posting Komentar