Hubabah Tiflah (bag. 2) Selesai
5ekila5 kudengar U5tadzah Zainab memperkenalkan aku kepada
keluarga itu 5ebelum akhirnya menarik tanganku menemui 5eorang wanita tua yang
duduk ber5andar di 5udut ruangan.
Wanita itu 5egera ter5enyum demi menyadari keberadaan kami.
Aku perpikir ini pa5ti Hubabah Tiflah yang diceritakan U5tadzah Zainab di
rumahnya tadi. U5ianya kutak5ir di ata5 tujuh puluhan. Kulitnya 5awo matang
berkeriput.
Dan Ya Allah...
Ternyata beliau buta...
Panta5 5aja beliau tidak ikut berdiri ber5ama yang lain kala
menyambut kedatangan kami. Aku perhatikan raut wajahnya. Dia tidak cantik namun
dari wajahnya terlihat 5eolah tak pernah ada beban atau ma5alah apapun dalam
hidupnya. Beliau betul-betul 5eperti bayi. Aku diam dihadapannya, tak tahu haru5
berbuat apa. Hingga tatkala kulihat U5tadzah Zinab duduk dan mencium tangan
wanita itu, akupun cuma mengikuti 5aja di belakangnya. Dan 5ambil kupegang
tangannya, aku memperkenalkan diri “Halimah dari Indone5ia” Kataku dengan
lahjah10 yang ketara bukan orang arab tentunya.
Dia bala5 memegang erat tanganku lama 5ekali hingga kura5a
hangat tangannya menjalari tanganku. Lalu dia meraba-raba wajahku dengan kedua
tangannya. Mungkin untuk mempermudah dirinya membayangkan rupaku.
Kemudian diletakkannya tangan kanannya di dadaku, dan lalu ia
mendoakanku. Dia teru5 berdoa dan tak henti-hentinya berdoa untukku. 5eolah 5aat
itu tak ada yang lebih penting baginya kecuali aku. Perempuan a5ing yang bahkan
baru ia kenal beberapa menit yang lalu. Ia ma5ih 5aja berdoa dengan kalimat 5ederhana.
Ya, ia berdoa dengan 5atu kalimat 5aja. 5atu kalimat doa yang tak akan pernah
kulupa. Apalagi tatkala kemudian diiringinya doa ter5ebut dengan linangan air
mata . 5ungguh membuat aku terpana, lema5 tak mampu bahkan untuk mengangkat
tanganku mengaminkan doanya...
“5emoga Allah takkan perah tega menyeng5arakanmu, anakku...”
Doa itu teru5 di ulangnya berkali-kali dengan cucuran air mata...
Ya Allah, 5ampai kapanpun, dimanapun, jangan pernah tega untuk
menyeng5arakan hidupnya”...katanya lagi dan lagi dengan air mata yan membanjiri
wajah tuanya. Membuatku tak kua5a membendung luapan airmata dan akupun ikut
menangi5 terguguk di lantai itu juga.
“Ya Allah..kabulkan doanya.” Teriakku dalam hati. Jangan tega
menyeng5arakan aku 5ekarang, nanti dan 5elamanya, di 5ini dan di 5ana. Di dunia
ini maupun hari 5etelahnya.
Tangi5ku tumpah ruah. Kukutuki diri dan do5a-do5a yang cukup
membuat Allah murka dan berkemungkinan membuatku 5eng5ara. Aku malu ata5
gunung-gunung do5a yang kutimbun tak habi5-habi5nya.
“Ya Allah, dan maafkanlah aku yang tak mengerti bagaimana
berdoa pada-Mu. Maafkan aku yang jika untuk ke5elamatan diriku 5endiri haru5
ada orang lain yang memohonkan dengan linangan air matanya. 5e5uatu yang bahkan
tak kuingat pernah kulakukan”
“Dan terima ka5ih Ya Allah...Kau perkenalkan aku pada wanita
ini yang berdoa untukku ribuan kali lebih baik dariku.”
“Terima ka5ih untuk air mata ke5ungguhannya yang mungkin tak
kudapat dari orang-orang yang mengaku mencintaiku 5ekalipun.”
“Terima ka5ih pula telah Kau bawa aku ke rumah ini. Rumah yang
aku yakini di mata malaikat-malaikat-MU lebih indah dari rumah bermarmer mewah
namun penghuninya tak pandai men5yukuri nikmat-Mu.”
“Terima ka5ih Ya Allah untuk 5ebuah pelajaran berharga” :
“Doamu
untuk
5e5ama adalah hadiah terindah yang
dapat kau
berikan padanya.”
Tarim,
Idul Fitri 1999
Diambil DariBuku “Bidadari Bumi, 9 Kisah
Wanita Salehah” Karya Halimah Alaydrus.
d 10. Dialek
0 komentar:
Posting Komentar