Rabu, Februari 05, 2014

Hukum-hukum Terkait Najis


Assalamu'alaikum wr wb

Mohon maaf ustadz, saya punya beberapa pertanyaan terkait dengan hukum-hukum najis.

  1. Apakah dibolehkan kita menyentuh benda najis, ataukah berdosa?
  2. Bolehkah najis itu ditelan atau dimakan?
  3. Bolehkah kita mengobati penyakit dengan benda najis?
  4. Bolehkah benda najis digunakan untuk bersuci?
  5. Bolehkah benda najis diperjual-belikan?
Mohon dijelaskan ya ustadz, syukran jazakallah

Wassalamu'alaikum wr wb.

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

A. Tidak Berdosa Menyentuh Najis
Berbeda dengan ketentuan najis pada agama-agama samawi sebelumnya, yang mengharamkan umatnya bersentuhan dengan benda-benda najis, dalam syariat Islam, seorang muslim tidak berdosa bila tersentuh najis, baik dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja.
Konon dalam agama Yahudi Allah SWT menetapkan ketentuan yang amat keras tentang najis. Di antaranya, bila seseorang terkena najis pada pakaiannya, maka pakaiannya itu tidak bisa lagi disucikan untuk selama-lamanya. Jadi pakaian itu harus dibuang, atau bagian yang terkena najis harus dirobek, dan ditambal dengan kain baru.
Dan bila najis itu tersentuh pada badan, maka kulitnya harus dikelupas, lantaran benda yang terkena najis tidak bisa selamanya disucikan.
Sedangkan seorang muslim tidak diharamkan untuk bersentuhan dengan benda-benda najis, asalkan bukan sedang menjalankan ibadah ritual yang membutuhkan kesucian dari benda najis.
Oleh karena itu dalam syariat Islam, profesi sebagai tukang sampah dan petugas kebersihan hukumnya halal. Meski setiap hari si tukang sampah pasti selalu bergelimang dengan kotoran dan harus bersentuhan dengan benda-benda najis.
Dalam pandangan syariah yang turun kepada Rasulullah SAW, sekedar menyentuh benda najis saja hukumnya tidak dilarang. Yang penting nanti bila mau shalat, semua najis itu dibersihkan terlebih dahulu dari badan, pakaian dan tempat shalat.
Demikian juga seorang muslim boleh bekerja di rumah potong hewan sebagai penyembelih hewan. Meski setiap hari badan dan pakaiannya bersimbah dengan darah hewan yang hukumnya najis, bahkan juga terkena kotoran atau air kencing hewan yang hukumnya najis juga, tetapi sekedar tersentuh benda najis bagi seorang muslim, hukumnya tidak haram.
Dan menjadi petugas penyedot WC yang kemana-mana naik mobil tinja juga tidak haram, meski setiap hari bergelimang dengan isi septik-tank.
Sebab pada prinsipnya dalam syariat Islam, sekedar menyentuh benda najis bukan perbuatan yang haram atau terlarang.
B. Syarat Sah Shalat dan Ibadah Lainnya Shalat dan beberapa jenis ibadah yang senafas lainnya mensyaratkan pelakunya terbebas dari benda najis, baik pada badan, pakaian atau tempatnya. Di antara ibadah yang lainnya adalah thawaf, khutbah Jumat dan lainnya.
Seorang muslim baru diwajibkan untuk mensucikan dirinya dari benda-benda najis yang terdapat pada badan, pakaian dan tempatnya, manakala dia akan melakukan ibadah ritual tertentu.
Karena suci dari najis adalah syarat sah dalam ritual beribadah, dimana seseorang tidak sah menjalankan shalat bila badan, pakaian atau tempat shalatnya tidak suci dari najis.
Maka pada saat itulah dibutuhkan cara berthaharah yang benar, sebagaimana yang diajarkan dalam ketentuan syariat Islam.
C. Haram Dimakan Meski boleh bersentuhan dengan benda-benda najis, namun syariat Islam mengharamkan seorang muslim memakan, meminum atau mengkonsumsi benda-benda yang jelas-jelas hukumnya najis, meski dengan alasan pengobatan. Keharaman mengkonsumsi benda-benda najis merupakan kriteria nomor satu dalam daftar urutan makanan haram.
Dalil yang menjadi dasarnya pengharamannya adalah firman Allah SWT :
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (QS. Al-A'raf : 157)
Piring Bekas Orang Kafir
Piring, gelas dan alat-alat makan bekas orang kafir terkadang menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah suci atau tidak?
Sesungguhnya ludah dan tubuh orang kafir itu suci dan bukan benda najis, sehingga kalau masalahnya hanya semata-mata makanan bekas orang kafir, tidak ada masalah dalam hal kesuciannya ,sebagaimana kisah dalam hadits berikut ini.
أُتِيَ عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ بَعْضَهُ وَنَاوَل الْبَاقِيَ أَعْرَابِيًّا كَانَ عَلَى يَمِينِهِ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَهُ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَشَرِبَ وَقَال : الأْيْمَنَ فَالأْيْمَنَ
Rasulullah SAW diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian lalu disodorkan sisanya itu kepada a’rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkata’Ke kanan dan ke kanan’. (HR. Bukhari)
Namun yang jadi masalah adalah bila orang kafir itu memakan makanan yang dalam pandangan syariah hukumnya najis, seperti khamar, anjing, babi, bangkai atau hewan-hewan lain yang diharamkan, apakah alat-alat makan bekas mereka itu lantas digeneralisir secara otomatis selalu menjadi najis, walaupun secara zahir tidak nampak?
Dalam hal ini, umumnya para ulama tidak mengharamkannya bila tidak nampak secara zahir sisa bekas benda-benda najis di dalam alat-alat makan bekas mereka. Umumnya mereka hanya hanya memakruhkan bila seorang muslim makan dengan wadah bekas orang kafir yang belum dibersihkan atau disucikan. Sehingga hukumnya tetap boleh dan makanan itu tidak menjadi haram.
Semua itu hukumnya boleh bila hanya sekedar berdasarkan rasa ragu saja. Namun bila jelas-jelas ada bekas najisnya secara kasat mata, maka haram hukumnya memakan dari wadah itu, kecuali setelah disucikan.
D. Haram Digunakan Untuk Berobat Secara umum para ulama sepakat mengharamkan benda najis digunakan untuk berobat, kecuali bila dalam keadaan yang bersifat darurat.
Ada begitu banyak dalil yang digunakan untuk mengharamkan pengobatan dengan benda-benda najis, di antaranya adalah sabda Nabi SAW berikut ini :
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَل شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu pada apa-apa yang Dia haramkan untukmu. (HR. Bukhari)
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ: إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءُ فَتَدَاوُوا وَلاَ تَتَدَاوُوا بِحَرَامٍ
Dari Abi Ad-Darda' radhiyallahuanhu bahwa Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat. Dan Dia menjadikan buat tiap-tiap penyakit ada obatnya. Maka, makanlah obat, tapi janganlah makan obat dari yang haram. (HR. Abu Daud)

عَنْ طاَرِقِ بْنِ سُوَيدٍ الجَعْفِي أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولُ اللهِ  عَنِ الخَمْرِ فَنَهَاهُ عَنْهَا فَقَالَ: إِنَّمَا أَصْنَعُهَا لِلدَّوَاءِ. فَقَالَ: إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ
Thariq bin Suwaid al-Ja'fi radhiyallahuanhu berkata bahwa dirinya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hukum minum khamar dan Rasulullah saw. mengharamkannya. Dia bertanya,”Tetapi ini untuk pengobatan.” Maka Rasulullah saw. menjawab, “Khamar itu bukan obat, tetapi penyakit.” (HR. Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizy)

أَنَّ دَيْلَمْ الحُمَيْرِي سَأَلَ النَّبِيَّ r فَقَالَ : يَا رَسُولَ الله إِنَّا بِأَرْضٍ بَارِدَةٍ نُعَالِجُ فِيْهَا عَمَلاً شَدِيْدًا وَإِنَّا نَتَّخِذُ شَرَابًا مِنْ هَذَا القَمْحِ نَتَقَوَّى بِهِ عَلَى أَعْمَالِنَا وَعَلىَ بَرْدِ بِلاَدِنَا. قَالَ رَسُولُ اللهِ : هَلْ يُسْكِر؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فاَجْتَنِبُوه، قَالَ: إِنَّ النَّاسَ غَيْرَ تَارِكِيْهِ. قاَلَ: فَإِنْ لَمْ يَتْرُكُوهُ فَقَاتِلُوهُمْ
Dailam Al-Humairi bertanya kepada Nabi saw.,”Ya Rasulullah, kami tinggal di negeri yang sangat dingin, tempat kami melawannya dengan perbuatan dahsyat, yaitu dengan cara meminum qamh ini. Khasiatnya bisa menguatkan tubuh kami dan melawan rasa dingin negeri kami.” Rasulullah saw. bertanya, ”Apakah minuman itu memabukkan?” “Ya, memabukkan,” jawabnya. "Tinggalkanlah,” kata Rasulullah saw. “Tapi orang-orang tidak mau meninggalkan minuman itu,” balasnya. Maka Nabi saw. bersabda,”Kalau mereka tidak mau meninggalkan minuman itu, perangilah mereka.” (HR. Abu Daud)
Namun ada sedikit pengecualian dari mazhab Al-Hanabilah. Meski tetap sepakat bahwa berobat dengan benda najis itu diharamkan, mazhab ini beranggapan bahwa air kencing unta bukan termasuk benda najis. Sehingga hukumnya boleh digunakan untuk berobat.
Dalilnya adalah bahwa Rasulullah SAW mengizinkan seorang shahabatnya minum air kencing unta sebagai obat untuk penyembuhan.

قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوُا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ r بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا. متفق عليه
Beberapa orang dari kabilah 'Ukel dan Urainah singgah di kota Madinah. Tidak berapa lama perut mereka menjadi kembung dan bengkak karena tak tahan dengan cuaca Madinah. Menyaksikan tamunya mengalami hal itu, Nabi SAW memerintahkan mereka untuk mendatangi unta-unta milik Nabi yang digembalakan di luar kota Madinah, lalu minum dari air kencing dan susu unta-unta tersebut. (HR. Bukhari Muslim)
Pendapat ini tentu ditentang oleh para ulama lainnya. Dan hadits di atas dijawab bahwa hal itu terjadi sebagai khusushiyah (kekhususan) dalam satu kasus dan tidak berlaku untuk dijadikan sandaran dalam setiap hukum.

E. Haram Digunakan Bersuci

Bersuci yang dimaksud adalah membersihkan sisa bekas buang air kecil atau buang air besar. Ada dua istilah yang terkait, yaitu istinja’ dan istijmar.
Istinja’ adalah mencusikan dan membersihkan sisa bekas buang air kecil atau buang air besar. Bila menggunakan benda selain air, disebut dengan istilah istijmar.
Dan Rasulullah SAW melarang kita beristijmar dengan menggunakan benda-benda najis, seperti kotoran hewan atau tulang bangkai, sebagaimana yang tersebut di dalam hadits berikut ini :

نَهَانَا أَنْ يَسْتَنْجِيَ بِرَجِيْعٍ أَوْ بِعَظَمٍ
Beliau SAW melarang kita beristinja’ dengan tahi atau tulang. (HR. Muslim Abu Daud dan Tirmizy)
F. Haram Diperjual-belikan Umumnya jumhur ulama sepakat mengatakan bahawa haram hukumnya memperjual-belikan benda najis. Dalil yang dijadikan dasar pengharamannya ada banyak, salah satunya hadits berikut ini :

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ الشُّحُومَ فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا
Dari Abu Daud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,”Allah SWT telah melaknat orang-orang Yahudi, lantaran telah diharamkan lemak hewan, namun mereka memperjual-belikannya dan memakan hasilnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun dalam menyebutkan ketentuan detailnya, para ulama agak sedikit berbeda pendapat. Mazhab Al-Hanafiyah berpandangan bahwa pada dasarnya jual-beli benda najis hukumnya haram.
  • Babi : hukum jual-beli babi menjadi haram, karena babi adalah benda yang najisnya merupakan najis 'ain.
  • Bangkai : Termasuk yang juga diharamkan oleh mazhab ini adalah bangkai hewan yang mati. Karena dalam pandangan mereka bangkai itu merupakan benda najis 'ain, lagi pula tidak ada manfaatnya.Namun apabila kulit bangkai itu disamak, hukumnya berubah menjadi suci. Dan oleh karena itu hukumnya boleh untuk diperjual-belikan.
  • Anjing dan Hewan Buat : Namun mazhab Al-Hanabilah memperbolehkan jual-beli anjing pemburu yang pada dasarnya bermanfaat untuk berburu. Baik anjing itu sudah terlatih ataupun masih belum terlahir, hukumnya sama-sama halal untuk diperjual-belikan.
G. Haram Ditempatkan Pada Benda Suci Termasuk yang dilarang untuk dilakukan dalam syariat Islam adalah menghina tempat-tempat suci dengan benda najis.
1. Haramnya Membawa Najis ke dalam Masjid Di antara dalil tentang haramnya memasukkan benda-benda najis ke dalam masjid adalah hadits-hadits berikut ini :
عَنْ عَائِشَةَ t قَالَتْ إِنَّ رَسُولَ اللهِ أَمَرَ بِالمَسَاجِدِ أَنْ تُبْنىَ فيِ الدُّوْر وَأَنْ تُطَهَّر وَتُطَيَّب
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata,”Rasulullah SAW memerintahkan untuk membangun masjid di tengah-tengah perumahan penduduk, serta memerintahkan untuk membersihkannya dan mensucikannya. (HR. Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmizy)
Di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, umumnya masjid belum ada karpetnya. Lantai masjid di masa itu hanya berupa tanah atau pasir tanpa alas untuk shalat. Merupakan kelaziman di masa itu, baik beliau SAW maupun para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim, untuk masuk ke masjid dengan mengenakan alas kaki, sandal atau sepatu.
Namun sebelum masjid ke dalam masjid yang harus suci itu, alas kaki mereka harus disucikan dan dibersihkan dari najis. Mengesetkan sandal atau sepatu yang terkena najis ke tanah adalah salah satu cara menghilangkan najis tanpa mencucinya.
Dan hal itu dibenarkan dalam syariah Islam, sebagaimana hadits berikut ini :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r صَلَّى فَخَلَعَ نَعْلَيْهِ فَخَلَعَ النَّاسُ نِعَالَهُمْ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لِمَ خَلَعْتُمْ نِعَالَكُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ رَأَيْنَاكَ خَلَعْتَ فَخَلَعْنَا قَالَ إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ بِهِمَا خَبَثًا فَإِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَقْلِبْ نَعْلَهُ فَلْيَنْظُرْ فِيهَا فَإِنْ رَأَى بِهَا خَبَثًا فَلْيُمِسَّهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيهِمَا
Dari Abi Sa'id Al Khudri radhiyallahuanhu berkata bahwasanya Rasulullah SAWshalat kemudian melepas sandalnya dan orang-orang pun ikut melepas sandal mereka, ketika selesai beliau bertanya: "Kenapa kalian melepas sandal kalian?" mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, kami melihat engkau melepas sandal maka kami juga melepas sandal kami, " beliau bersabda: "Sesungguhnya Jibril menemuiku dan mengabarkan bahwa ada kotoran di kedua sandalku, maka jika di antara kalian mendatangi masjid hendaknya ia membalik sandalnya lalu melihat apakah ada kotorannya, jika ia melihatnya maka hendaklah ia gosokkan kotoran itu ke tanah, setelah itu hendaknya ia shalat dengan mengenakan keduanya." (HR. Ahmad)
Di dalam hadits yang lain disebutkan juga perihal mengeset-ngesetkan sendal ke tanah sebelum shalat.
إِذَا أَصَابَ خُفَّ أَحَدِكُمْ أَوْ نَعْلَهُ أَذًى فَلْيَدْلُكْهُمَا فِي الأْرْضِ وَلْيُصَل فِيهِمَا فَإِنَّ ذَلِكَ طَهُورٌ لَهُمَا
Bila sepatu atau sandal kalian terkena najis maka keset-kesetkan ke tanah dan shalatlah dengan memakai sendal itu. Karena hal itu sudah mensucikan (HR. Abu Daud)
Suatu ketika masuk seorang Arab dusun ke dalam masjid Nabawi dan buang air kecil di dalamnya. Maka hal itu membuat para shahabat marah dan ingin menghukum orang tersebut. Namun beliau mencegah mereka dan menasehati baik-baik orang itu, dan yang beliau lakukan adalah membersihkan bekas air kencing itu dengan seember air.
قَامَ أَعْرَابيِّ فَبَالَ فيِ المسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ النَّاسُ لِيَقَعُوا بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ دَعُوْهُ وَأَرِيْقُوا عَلىَ بَوْلِهِ سِجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ
Seorang Arab dusun telah masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah SAW bersabda,”Biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air”. (HR. Bukhari)
2. Haramnya Menodai Mushaf Al-Quran Dengan Najis Juga haramnya menempelkan benda najis ke mushaf Al-Quran yang suci dan mulia, karena hal itu merupakan salah satu bentuk penghinaan. [1]
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA


[1] Hasyiyatu Ibnu Abdin jilid 1 hal. 116, Mughni Al-Muhtaj jilid 1 hal. 27,
Rumah
Fiqih
Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

 

KAJIAN KEISLAMAN DAN KEILMUAN

BERITA DAERAH

POLITIK