Prolog
Pemilu 2014 sudah tinggal bilangan bulan. Dari Pemilu ke Pemilu kita menghadapi realita yang serupa dan sama, dimana para Caleg saling aksi pasang spanduk, baliho dan sejenisnya. Bahkan notabene para caleg yang masih duduk di kursi legislatif, kemana aja selama ini ya koq masih pasang gaya seperti ituPostingan ini diadopsi dari Tulisan Bambang Haryanto yang merupakan surat pembaca di Harian Suara Merdeka dan di posting di iklanpolitik.wordpress.com dengan judul Surat Politik Bambang Haryanto (1) dan Surat Politik Bambang Haryanto (2).
Saya kira masih relevan untuk menilai kondisi Pemilu 2014
Caleg 1: Caleg Yang Tidak Mendidik
Papan nama itu berisi tempelan beragam informasi. Dari lowongan pekerjaan, pelatihan blog, promosi real estat, kursus, seminar, sampai arisan sepeda motor. Tertempel di sebuah kios fotokopi di Wonogiri, yang semakin hari kapling halamannya semakin bertambah dengan info-info yang makin beragam pula. User generated content (UGC), demikian istilah dari dunia Internet untuk fenomena papan nama tersebut. Para caleg seyogyanya memperkaya kampanyenya dengan cara UGC ini. Di kantor partai atau rumahnya, mereka dapat mendirikan papan informasi untuk masyarakat setempat. Diri mereka tampil sebagai hub, pusat persilangan informasi yang bersifat lokal, yang tentu saja relevan dengan kebutuhan konstituennya. Prakarsa yang mendidik dan memberi manfaat ini jelas merupakan kampanye yang memiliki keunggulan tersendiri !Caleg 2: Mendadak Sok Selebritis
Selebritis menjadi makhluk istimewa karena dirinya memberikan sesuatu kepada masyarakat. Utamanya bakat artistik yang mereka geluti dan perjuangkan dalam waktu yang tidak sedikit. Mereka jadi terkenal. Masyarakat luas mudah mengenal mereka, dengan sukarela menjadi fans, pengagum, dan bahkan menghidupinya dengan membeli produk-produk artistik kreasi mereka. Keistimewaan kaum selebritis itu kini ingin dinikmati para caleg kita. Tetapi dengan jalan pintas. Mereka yang selama ini bukan siapa-siapa, satu kecamatan pun tidak dikenal meluas, mendadak jadi sok selebritis. Lalu meminta dukungan yang mementingkan dirinya sendiri, hanya dengan memajang papan peraga kampanye di jalan-jalan. Rata-rata dengan olah grafika yang kacau-balau dan teks-teks yang hambar, datar, tidak menggugah. Tidak komunikatif. Tanggal 9 April 2009 akan menjadi saksi bahwa usaha jalan pintas itu hanya akan sia-sia belaka !Caleg 3: Caleg Kita Sakit Buta Media
Pamer tampang dan pamer gelar akademis. Itulah yang mencolok dan mudah ditemui dalam papan peraga kampanye caleg-caleg kita. Ditambah slogan atau janji yang normatif, membuat konstituen kekurangan informasi mengenai visi-misi dan utamanya tentang kualitas intelektual caleg bersangkutan. Saya heran, mengapa mereka tidak memanfaatkan media massa ? Kalau kantongnya tak mampu untuk pasang iklan, mengapa mereka tidak menulis artikel atau surat pembaca ? Atau membuat blog. Dengan menulis mereka mengasah ketajaman berpikir atau pengamatannya terhadap masalah yang dihadapi para konstituen, terbuka untuk berdiskusi dan kemudian memberikan solusi. Inilah saatnya mereka berdiri disamping rakyat dan berbicara memakai kacamata rakyat, sebuah sikap yang harus terus mereka pertahankan bila terpilih kelak sebagai wakil rakyat. Bukti tertulis dan dibaca banyak orang itu juga bermanfaat untuk menagih janji para wakil rakyat yang ingkar janji !Caleg 4: Caleg-Caleg Untouchable Kita
Sukses Obama menjadi Presiden Amerika Serikat ke-44 ditunjang pemanfaatan sarana teknologi komunikasi dan informasi (TKI) yang baik dalam kampanyenya. Intinya, sarana TKI itu digunakan untuk mendengar, menyerap aspirasi konstituen, dan lalu mensosialisasikannya sebagai isu bersama. Meminjam kata-kata Bung Karno, Obama sukses sebagai penyambung lidah rakyat. Bagaimana wajah kampanye para caleg kita ? Mereka sangat elitis, egois, untouchable dan tidak merakyat, karena tidak mau membuka dialog dengan konstituennya. Simak saja peraga kampanye mereka, isinya lebih banyak mementingkan diri mereka sendiri. Memuji-muji diri sendiri. Dalam sarana itu tidak terpajang data alamat, situs web/blog, email, telepon/HP (apalagi yang bebas pulsa) sebagai gestur kesediaan mereka membuka akses guna bersosialisasi dan berinteraksi dengan rakyat banyak yang mereka wakili. Pemilih kini benar-benar ibarat dipaksa untuk memilih kucing dalam karung !Caleg 5: Caleg-Caleg Kita Yang Narsistik
“Pemasaran diri sendiri,” kata ahli pemasaran Al Ries dan Jack Trout dalam bukunya Horse Sense : The Key to Success Is Finding a Horse to Ride (1991), “merupakan aktivitas pemasaran yang terpenting sekaligus yang paling sulit.” Ketika melakukan perjalanan darat Wonogiri-Tasikmalaya pulang-pergi (17-18/1/2009), sambil mengamati dan memotret beragam papan peraga kampanye para calon legislatif kita, kiranya pendapat Ries dan Trout itu benar adanya. Kesimpulannya, sebagian besar para caleg itu tidak memahami strategi komunikasi pemasaran. Sehingga yang menonjol adalah sikap narsis, nafsu pemujaan terhadap diri mereka sendiri dan partai mereka. Yang mereka tonjolkan adalah nama partai, nomor partai, daerah pemilihan, nomor urut dirinya, foto, lalu janji-janji dan slogan kampanye mereka. Pesan-pesan mereka justru kebanyakan tidak berorientasi kepada sudut pandang sasaran kampanye mereka, yaitu para konstituen. Konstituen hanya diminta maklum akan janji-janji atau mantra-mantra “jual kecap” mereka. Pendekatan tersebut berakibat fatal. Dalam dunia komunikasi dikenal rumus WIIFM (What’s In It For Me). Sekadar contoh, etika menerima surat, sebelum membuka amplop, di benak Anda secara naluriah segera muncul pertanyaan WIIFM itu : adakah isi surat ini yang penting dan bermanfaat bagiku ? Isi surat yang tidak memenuhi harapan itu, tentu saja mengecewakan penerimanya. Rumus ini berlaku universal. Kesimpulan saya : dalam berkomunikasi saja para caleg itu nampak kemaruk mementingkan diri mereka sendiri, apalagi bila kelak telah terpilih ?Surat 6: Partai Pemaku Pohon
Pelajar mencabuti paku-paku di pohon. Aksi sederhana dan konkrit dalam menjaga kelestarian lingkungan itu telah dilakukan oleh pelajar SMA St Yosef di Solo dan pelajar SMK 1 Pancasila di Wonogiri (16/7/2008). Iktikad baik mereka itu pantas mendapatkan apresiasi, sekaligus mendapatkan tantangan. Karena kita lihat semakin “brutal”-nya pelbagai fihak dalam memanfaatkan pohon di jalan-jalan utama kota sebagai tempat pelbagai mereka memajang sarana kampanye dan promosi. “Kalau sarana kampanye itu milik partai, kami tak berani,” demikian salah seorang guru SMK 1 Pancasila Wonogiri yang saya temui. Pendapat itu terkait realitas bahwa di Wonogiri saat ini menonjol bendera partai “H” telah dipakukan pada puluhan pohon pada jalan-jalan utama kota kecil ini. Kita kuatir 33 partai lainnya akan mengikuti jejaknya. Belum lagi pelbagai lembaga pendidikan asal Solo (AlfB, ATW, FjG), Sukoharjo (LPK Ao), dari Wonogiri sendiri (Akb SGH, GCC, Salon Drb) dan banyak lagi fihak lainnya, ikut pula menyiksa pohon-pohon tak berdosa itu. Semoga aksi pelajar-pelajar di atas mampu mengetuk pelbagai fihak mau berpikir mencari cara berpromosi yang lebih mencintai lingkungan.Caleg 7: Caleg Tidak Mendengar
Hai rakyat, dengarkanlah dan ikuti kata-kataku. Percayai janji-janjiku, dan pilihlah aku. Begitulah inti pesan dari berderet papan peraga kampanye para caleg yang bertebaran di jalanan. Mereka seolah berada di atas, mengira rakyat itu ibarat botol kosong, tidak cerdas dan mudah mengikuti apa saja kata mereka. Persepsi itu salah besar. Mereka harusnya mau belajar dari ujaran Rebbeca MacKinnon, seorang blogger dan peneliti di Universitas Harvard yang mantan wartawan CNN di Beijing dan Tokyo. Ia bilang, seseorang lebih mampu menyerap dan mengelaborasi kembali informasi secara lebih mendalam bila yang bersangkutan dilibatkan dalam diskusi mengenai materi tersebut. Bahkan mereka memiliki pemahaman lebih mendalam lagi bila dirinya mampu menuliskan opini tentang hal bersangkutan di ruangan publik. Untuk mensosialisasikan pemilu dan individu caleg bersangkutan, kalau saja saya seorang birokrat KPU/KPUD atau caleg dan birokrat partai, akan saya ajari rakyat untuk menulis di beragam media. Baik artikel atau surat-surat pembaca di media massa, atau pun di blog-blog di Internet. Termasuk membebaskan mereka untuk menuliskan kritik untuk para caleg bersangkutan. Dengan demikian maka papan peraga kampanye di jalanan itu bukan sebagai media indoktrinasi, searah, yang membodohi rakyat. Tetapi lebih merupakan undangan awal bahwa caleg bersangkutan bersedia membuka telinga untuk mendengar aspirasi rakyat.Sumber: http://www.eniwae.com/caleg-pemilu-2014/
1 komentar:
Manteep dah sob artikelnya :)
http://apotekherbalkita.com/cara-agar-tubuh-langsing-dan-sehat/
Posting Komentar