Sejak tahun lalu, Polda Sumatera Selatan membuat terobosan dalam
merekrut polisi baru. Yakni, melalui jalur hafiz atau penghafal Alquran.
Mereka mendapatkan enam polisi muda. Seorang di antaranya perempuan.
***
LANTUNAN ayat suci Alquran terdengar lembut di ruang utama masjid
Mapolda Sumatera Selatan, Kamis (16/4). Suara merdu itu berasal dari
seorang polwan berjilbab yang duduk di salah satu sudut ruang utama.
Matanya terpejam, namun bibirnya tidak putus melamatkan surah Al Baqarah
ayat 104-105.
Polwan itu bernama Bripda Rizka Munawwaroh, satu di antara enam hafiz yang direkrut Polda Sumsel. Dia adalah satu-satunya
hafizah
karena lima rekannya laki-laki. Siang itu dia sedang melakukan taqrir
atau mengulang hafalan di bawah bimbingan salah seorang rekannya, Bripda
Jamzan, yang telah hafal 30 juz.
Setelah sesi taqrir, Rizka masih menyempatkan bercanda dengan lima
rekannya. Beberapa rekannya mencandai polwan belia itu dengan
memanggilnya Humaira (panggilan Nabi Muhammad kepada istrinya, Aisyah).
Tak pelak, Rizka pun tersipu.
Rizka direkrut sebagai polisi di lingkungan Polda Sumsel bersama lima
hafiz lainnya. Yakni, Jamzan, Muhammad Husein, M. Galeh Prima, Muhammad
Arif Rafli, dan Welly Kaswara. Mereka direkrut secara khusus oleh Saiful
Arifin dan Bripka Mudholal, staf di Biro SDM Polda Sumsel, setelah
mendapat instruksi dari Karo SDM Kombes Mustaqim.
Upaya
talent scouting itu tidak berlangsung mudah. Enam anak muda
tersebut mengaku sebelumnya tidak membayangkan akan menjadi anggota
polisi. Apalagi mereka sempat sedikit resistan dengan sistem rekrutmen
Polri karena mengira dibutuhkan biaya untuk menjadi polisi.
’’Saya berupaya terus meyakinkan ustadnya Rizka bahwa rekrutmen Polri
tidak dipungut biaya,’’ tutur Bripka Mudholal ketika ditemui Jawa Pos di
Mapolda Sumsel, Kamis lalu.\
Mereka memang direkrut berdasar prestasinya sebagai penghafal Alquran.
Karena itu, tidak semua persyaratan calon anggota Polri mampu mereka
penuhi. Mudholal pun perlu melatih fisik dan mental para hafiz tersebut
selama tiga bulan sebelum masuk sekolah calon bintara (secaba). Hasilnya
tidak sia-sia. Enam hafiz itu dinyatakan lolos seleksi calon bintara
dengan hasil memuaskan.
Selain bertugas sebagai polisi, kini enam penghafal Alquran tersebut
mendapat tugas menyempurnakan hafalan Alquran mereka. Hasilnya, Husein
dan Jamzan sudah hafal 30 juz, Rizka hafal 19 juz, Arif 17 juz, serta
Galeh dan Welly masing-masing masih 12 juz.
Menariknya, keenamnya tidak menyangka akhirnya menjadi polisi yang hafal
Alquran. Husein, misalnya, baru merasa tertarik menjadi hafiz setelah
ayahnya meninggal beberapa tahun silam.
’’Saya dapat cerita dari teman-teman bahwa ayah saya ingin punya anak yang hafal Alquran,’’ tuturnya.
Semasa hidup, sang ayah tidak pernah mengomunikasikan keinginan tersebut
langsung kepada Husein. Dari situlah, Husein mulai belajar dan
menghafal Alquran. Hebatnya, dia mampu menyelesaikan hafalan Alquran itu
dalam waktu empat tahun.
Tahun lalu Husein ditawari Saiful Arifin, PNS di Mapolda Sumsel yang
juga tetangganya, untuk ikut seleksi calon bintara. Dengan berbagai
pertimbangan, Husein akhirnya menyanggupi tawaran itu. Padahal, semula
dia ingin menjadi ulama.
”Orang tua ingin saya kembali ke Padang dan menjadi ulama di sana,” tutur pemuda kelahiran 2 Januari 1995 itu.
Lain lagi dengan Jamzan. Dia menuturkan, awalnya dirinya dipaksa orang
tua untuk bisa menghafal Alquran. Karena itu, dia melakukannya tidak
sepenuh hati. Namun, dalam perjalanannya, pikiran Jamzan berubah. Dia
merasa keenakan sehingga makin bersemangat menghafal Alquran. Dalam
waktu empat tahun dia bisa menuntaskan hafalan 30 juz.
Seperti halnya Husein, Jamzan sempat ragu ketika ditawari Saiful untuk
ikut seleksi calon bintara. ”Saya awalnya mikir masuk polisi itu harus
pakai uang,” tuturnya.
Tapi, setelah diyakinkan Saiful, Jamzan baru percaya. Bahkan, dia
membuktikan sendiri omongan Saiful. ”Saya tidak mengeluarkan uang sama
sekali,” ujarnya.
Sementara itu, Galeh bisa menghafal Alquran karena iri dengan kakak
kelasnya di SMA. Kakak kelasnya tersebut sudah hafiz, dan dia ingin
mengikuti jejaknya. Setelah menghafal sejumlah juz, Galeh juga ikut
direkrut tim talent scouting Polda Sumsel.
Galeh mengaku punya motivasi tersendiri untuk menjadi polisi meski
awalnya tidak pernah berpikir untuk menjadi anggota korps baju cokelat
itu. Sebagai anak pertama di antara lima bersaudara, dia ingin segera
mandiri. ”Biar tidak menyusahkan orang tua lagi,” ucapnya.
Dia juga punya keinginan, apabila program hafalan Alquran sudah selesai,
dirinya menargetkan bisa masuk ke jajaran reserse. ”Banyak ilmu
kepolisian di reserse. Itu yang membuat saya tertarik,” tambahnya.
Sebagaimana polisi hafiz lainnya, Arif Rafli dan Welly Kaswara diajak
untuk mendaftar sebagai calon bintara melalui jalur hafalan Alquran.
Arif mulai menghafal Alquran saat kelas I madrasah tsanawiyah. Begitu
pula Welly. Namun, keduanya belum hafal 30 juz. Karena itu, mereka terus
berusaha menambah hafalan di sela-sela tugas pendidikan.
Untung, Sekolah Polisi Negara (SPN) memberlakukan ibadah tepat waktu
kepada siswa yang beragama Islam. Kesempatan itulah yang dimanfaatkan
Welly untuk meningkatkan hafalannya. ”Setiap setelah salat, saya
menambah hafalan selama 15 menit,” ucapnya.
Saat menjadi imam salat juga dimanfaatkan Welly untuk mengetes hafalan Alquran.
Apa tidak diprotes jamaah? Sembari tersenyum, Welly mengakui kadang
jamaah protes karena bacaan suratnya terlalu panjang. ”Tapi, yang sering
diprotes Husein. Kadang salat subuh sampai setengah jam,” ucapnya
sambil tertawa. Husein pun diingatkan pembinanya bahwa salat jamaah yang
dipimpinnya berlokasi di SPN, bukan di pesantren.
Hafizah Rizka punya cerita tersendiri saat akan direkrut sebagai polwan.
Dia tidak mendapatkan restu dari orang tuanya, khususnya sang bunda.
”Ibu sempat tidak setuju, khawatir hafalan Alquran saya hilang kalau
jadi polisi,” tuturnya. Sang ibu juga khawatir Rizka harus melepas
jilbab saat menjadi polisi.
Ayahnya kemudian mengambil peran untuk meyakinkan ibu Rizka sehingga
akhirnya Rizka disetujui menjadi polisi. Dia lalu menjalani pelatihan
pra-tes untuk menyiapkan fisik dan mental sebagai pelayan masyarakat.
Cobaan berikutnya datang saat menempuh pendidikan di SPN tahun lalu.
Sebab, Rizka tetap mengenakan jilbab sebagaimana kebijakan Kapolri
Jenderal Sutarman yang membolehkan polwan mengenakan jilbab. Namun, tak
lama kemudian, kebijakan itu ditarik.
Rizka yang saat itu menjalani pelatihan di Sekolah Polwan Ciputat,
Jakarta, diminta melepas jilbab atau dipulangkan ke Palembang. Dara
kelahiran 15 Agustus 1995 itu merasa dilematis. Dia sempat stres dan
nyaris akan memilih mundur. Tidak lama kemudian, Mudholal yang mendapat
kabar tentang Rizka pun datang ke Jakarta.
Mudholal lalu mengajak Rizka berjalan-jalan ke ruang publik di Jakarta
hingga tiba waktu salat. ”Itu banyak yang memakai jilbab, tapi saat
waktunya salat mereka memilih untuk menunda,” tutur Mudholal yang
kemarin mendampingi Rizka. ”Saya bilang ke dia (Rizka), jilbab yang
sebenarnya ada di hati,” lanjutnya.
Akhirnya Rizka bersedia melepaskan jilbabnya. Salah satu
pertimbangannya, di sekolah polwan itu tidak ada siswa laki-laki. ”Meski
saya malu samaAllah,” ucap Rizka.
Kerelaannya itu berbuah manis. Wakapolri Komjen Badrodin Haiti (kini
telah menjadi Kapolri) akhirnya membuat keputusan yang memperbolehkan
polwan mengenakan jilbab.
Bagi Rizka, menjadi hafiz membuat tanggung jawabnya menjadi besar. Dia
pantang melakukan sejumlah hal yang berpotensi membuat hafalannya
hilang. ”Misalnya, pacaran. Itu bisa membuat hafalan hilang,” urainya.
Rizka pernah kehilangan hafalannya cukup banyak. Yakni, saat dia belum
menjadi polisi. Kala itu dia pergi dengan sejumlah rekannya untuk
bersenang-senang. Akibatnya, dia sampai lupa waktu dan tenggelam dalam
sukacita. Dia bersedih saat mengetahui hal itu.
’’Alhamdulillah, saya punya mentor yang luar biasa sabar. Beliau seorang
tunanetra, tapi mampu memberi saya motivasi untuk tidak menyerah,’’
jelas Rizka.
Saat ini enam polisi hafiz itu tinggal di kediaman Mudholal. Mereka
tidak hanya dibina dalam hal hafalan, namun juga kemampuannya yang lain.
Contohnya, menjadi qari, dai, dan kemampuan sejenis.
Karo SDM Polda Sumsel Kombes Mustaqim menuturkan, ide merekrut para
hafiz dan hafizah itu lahir setelah Mabes Polri memberlakukan inovasi
dalam sistem perekrutan anggota Polri. Mabes Polri mengizinkan jajaran
polda untuk merekrut polisi dari jalur prestasi. Baik prestasi olahraga,
ilmu pengetahuan, maupun seni budaya.
Menurut Mustaqim, hafiz termasuk salah satu talenta yang tidak hanya
hebat, namun juga mulia. Dia lalu meminta stafnya untuk berburu hafiz ke
pesantren-pesantren di Sumsel. Hasilnya cukup memuaskan. ’’Ini
adik-adik angkatannya (angkatan Husein cs) juga sedang dalam proses
rekrutmen,’’ tuturnya.
Setelah hafalan enam hafiz tersebut tuntas, polda memiliki program untuk
mengembalikan mereka bertugas di daerah asal. Dalam budaya masyarakat
Sumsel, polisi yang berasal dari daerah setempat akan lebih mudah
diterima masyarakat. Apalagi, polisi tersebut memiliki basis agama yang
kuat.
’’Ini juga membuktikan bahwa masih banyak polisi yang baik,’’ lanjut perwira dengan tiga melati di pundak itu.
Sumber:
JPPN